Mengapa Harus Madrasah..?

Atur ukuran font . . . . Perkecil  Reset  Perbesar 
Karena sesungguhnya madrasah adalah sekolah plus, yaitu plus agama. Dari sisi ini pula sesungguhnya madrasah adalah sekolah unggulan, yaitu sekolah yang memiliki keunggulan dalam hal pembelajaran agama. Seluruh mata pelajaran umum yang ada di sekolah bisa dipastikan dipelajari di madrasah, tetapi sebaliknya tidak semua pelajaran yang ada di madrasah dipelajari di sekolah.

Mata "pelajaran agama" yang dipelajari di madrasah tidak seluruhnya ada di sekolah. Di sekolah memang ada pelajaran agama, tetapi dari sisi kuantitas dan kualitasnya jauh berada di bawah pelajaran agama yang diajarkan di madrasah. Pelajaran agama di sekolah hanya satu jenis bidang ilmu, yaitu ilmu agama Islam yang diajarkan hanya 2 jam seminggu.

Pelajaran agama di sekolah memang padat, tetapi lebih mengesankan sebagai kompilasi pengetahuan agama daripada sebagai ilmu-ilmu Islam dalam arti sempit. Sedangkan di madrasah pelajaran agama memiliki berbagai bidang ilmu, yaitu Akidah-Akhlak, Al-Qur'an-Hadits, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab. Semuanya diajarkan dalam waktu antara 10 -12 jam seminggu.

Biasanya kalau menyebut sekolah plus atau sekolah unggulan, maka konotasinya adalah sekolah bermutu, dan oleh karena itu banyak memiliki keunggulan dan diminati masyarakat. Sebagai perbandingan saja misalnya sekolah Al- Balagh Laren Lamongan, sekolah Madania di Parung-Bogor, sekolah Muthahari di Bandung, dan sekolah Athirah di Makassar adalah sekolah yang dinilai sebagai sekolah bermutu, memiliki banyak keunggulan, dan diminati oleh masyarakat.

Di antara keunggulan sekolah-sekolah tersebut adalah karena di dalam kurikulumnya ditambahkan pelajaran agama secara memadai. Komposisi kurikulum yang demikian itu sesungguhnya adalah komposisi kurikulum yang selama ini diterapkan di madrasah.

Ketika menyebut madrasah yang tergambar justru sebaliknya. Madrasah pada umumnya merupakan lembaga pendidikan yang kurang bermutu dan kurang diminati masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir memang muncul madrasah-madrasah unggul. Keunggulannya bahkan tidak hanya bertaraf lokal, tetapi juga nasional, bahkan beberapa madrasah diakui keunggulannya bertaraf internasional. Sebut saja misalnya MI dan MTs Negeri di Malang, MI Pembangunan di Jakarta, MAN Insan Cendekia di Serpong, dan MAN Insan Cendekia di Gorontalo.

Di tingkat Sultra MIN Kolaka masuk dalam kelompok ini. Bahkan yang disebut terakhir ini memiliki berbagai prestasi pada level nasional sehingga memiliki peminat yang luar biasa. Sebagai contoh peserta didik kelas satu pada tahun pelajaran baru ini mencapai 180 siswa atau 6 rombongan belajar disaat kompetitornya ”kesulitan” mencari peserta didik baru. Tetapi jumlah madrasah yang unggul tersebut sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah madrasah secara keseluruhan.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa untuk menjadi sekolah atau madrasah yang maju tidak cukup hanya mengandalkan kepada keunggulan kurikulum dalam arti kuantitatif, yaitu berupa sederetan jumlah mata pelajaran. Banyak faktor yang sangat berpengaruh, seperti manajemen, kualitas SDM, pendanaan, manajemen, dan sebagainya. Oleh karena itu sangat bisa dipahami kalau madrasah, betapapun dari sisi muatan kurikulum memiliki keunggulan dibandingkan dengan sekolah, belum bisa menjadi lembaga pendidikan yang maju karena masih menghadapi berbagai persoalan.

Madrasah sebagai Model Pendidikan Ideal

Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan bahwa madrasah adalah model pendidikan yang sesuai dengan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pertama dalam rumusan ideologi Pancasila, sila pertama berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Hubungan sila pertama dengan keempat sila yang lain tidak bersifat komplementer tetapi lebih bersifat pemaknaan dan inspiratif.

Sila pertama menjiwai bagi teraktualisasikannya sila-sila yang lain. Dalam istilah Prof. Tafsir sila pertama adalah core atau inti bagi sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Sehingga kalau dijelaskan kira-kira akan menjadi Kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Persatuan Indonesia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Logika berikutnya, kalau sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan core bagi sila-sila berikutnya, maka sesungguhnya keimanan adalah sesuatu yang sangat esensial bagi kehidupan masyarakat dan berbangsa. Dengan demikian, maka penjabarannya dalam berbagai bidang kehidupan juga harus mengacu ke arah sana, termasuk di dalamnya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan seharusnya menjadikan iman sebagai core atau inti.

Implikasinya adalah bahwa struktur kurikulum dan aktivitas yang dikembangkan di dalam lembaga pendidikan seharusnya berorientasi kepada penanaman nilai-nilai keimanan dan memancarkan nilai-nilai tersebut dalam keseharian pendidikan. Namun demikian, dalam kenyataannya struktur kurikulum dan aktivitas pendidikan kurang banyak diwarnai oleh keimanan. Secara kuantitatif mata pelajaran yang mengajarkan kepada keimanan hanya 2 jam pelajaran dalam satu minggu dari jumlah jam secara keseluruhan yang jumlahnya kurang lebih 17 jam seminggu.

Sedangkan secara kualitatif kedalaman mated agama di sekolah juga belum ideal, karena lebih menekankan kepada pengetahuan agama daripada mendidik hidup beragama. Dalam konteks ini struktur kurikulum yang ada di madrasah secara kuantitatif tampaknya sejalan dengan pembinaan keimanan. Dalam struktur kurikulum madrasah berdasarkan 8KB Tiga Menteri Tahun 1975, komposisinya adalah 30% pelajaran agama dan 70% pelajaran umum. Ini artinya porsi untuk pendidikan keimanan jauh lebih mendukung dibandingkan dengan struktur kurikulum yang diterapkan di sekolah umum.

Selain itu, upaya menciptakan suasana keagamaan di madrasah juga tampaknya selalu diupayakan oleh para penyelenggara dan pendidik di hampir semua madrasah. Dengan demikian, dari struktur kurikulum, maka sesungguhnya madrasah sudah sangat sejalan dengan semangat Pancasila yang menjadikan keimanan (Ketuhanan Yang Maha Esa) sebagai corenya.

Kedua, di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan, "Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, dan dengan didorong oleh semangat yang luhur, ......." Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa para pendiri bangsa ini memang sangat yakin bahwa dideklarasikannya Republik Indonesia sebagai suatu entitas bangsa adalah berkat rahmat Allah. Jadi, tidak semata-sama sebagai hasil perjuangan, tetapi lebih dari itu bahwa kemerdekaan itu adalah sesuatu yang memang sudah kehendak Allah.

Sebab itu, betapapun kerasnya perjuangan yang dilakukan, tetapi kalau Allah belum memberikan tidak menghendaki, maka bisa jadi kemerdekaan tersebut belum terwujud pada waktu itu. Kesadaran seperti ini, lagi-lagi menunjukkan bahwa watak sesungguhnya dari masyarakat bangsa ini adalah masyarakat yang menjunjung tinggi keimanan di atas segalanya. Iman adalah inti dan pangkal dari eksistensi bangsa dan negara ini.

Oleh karena itu juga, sudah seharusnya bahwa keimanan merupakan inti bagi penyeleng-garaan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk di dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan tidak hanya menjadi lembaga yang merefleksikan keimanan, tetapi juga menjadi lembaga yang memperkokoh keimanan. Nah, penyelenggaraan madrasah secara par excellent sangat mendukung bagi terwujudnya maksud ini. Madrasah menjadikan iman sebagai core dalam penyelenggaraan pendidikannya dan kemudian mengembangkan aspek-aspek lainnya, baik ilmu pengetahuan, life skill, maupun ketrampilan lainnya.

Ketiga, tujuan pendidikan nasional. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Tujuan pendidikan nasional baik yang terdapat dalam UU Sisdiknas 2003 sama-sama menempatkan keimanan sebagai tujuan utama, baru kemudian disusul dengan kualifikasi yang lain. Ini menunjukkan bahwa keimanan adalah hal yang penting dalam pendidikan. Jika dikaitkan dengan sila pertama Pancasila dan juga pernyataan di dalam Pembukaan UUD 1945, maka tujuan pendidikan adalah sesuatu yang memang seharusnya begitu adanya, yaitu menjadikan iman sebagai core-nya, baru kemudian dilengkapi dengan hal-hal lain. Lagi-lagi dalam konteks ini, maka sesungguhnya eksistensi madrasah yang memberikan penekanan pada pembelajaran keimanan sangat sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Pancasila, UUD 1945, dan juga tujuan pendidikan nasional.

Dalam aspek sosio-historis, kemunculan madrasah bukanlah sesuatu yang asing dalam konteks kemunculan bangsa Indonesia dan juga dalam konteks dasar-dasar dan operasional penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemunculan madrasah yang demikian itu tidak semata-mata karena ia dilahirkan oleh masyarakat Islam, tetapi juga karena juga mengemban misi untuk mempertahankan, memperkokoh, dan juga mengembangkan nilai-nilai yang melandasi lahirnya bangsa ini. Dengan demikian, maka sesungguhnya eksistensi madrasah adalah sesuatu yang paralel dengan kebangsaan itu sendiri.

Oleh karena itu sesungguhnya sudah seharusnyalah bangsa berkewajiban mengembangkan madrasah. Apalagi dalam sejarahnya pendidikan model madrasah inilah yang lahir sebelum kemerdekaan. Hal ini berbeda dengan dengan pendidikan model sekolah yang merupakan impor dari pendidikan yang dibawa oleh Belanda. Ini berarti bahwa madrasah adalah model pendidikan yang merupakan milik bangsa ini.

Jangan lagi membayangkan bahwa madrasah saat ini identik dengan keterbelakangan, sebab pengelolaan madrasah yang maju telah memiliki ikon-ikon kemajuan. Madrasah, di tingkat dasar (ibtidaiyah pun) selain mendalami agama melalaui pembinaan iman, taqwa, ibadah, dan akhlak juga telah memiliki laboratorium komputer, belajar Bahasa Inggris, memiliki fasilitas internet, serta pembelajaran berbasis IT serta kemampuan manajerial yang baik dari kepala madrasah. Sehingga jika saat ini sebagaian masyarakat menggandrungi sekolah karena label internasionalnya (SBI) maka madrasah dengan label agama dan ikon kemajuan seperti disebutkan di atas, sesungguhnya madrasah adalah SBI BS (Sekolah Bertaraf Internasional Berorientasi Surga) Nah, apalagi yang diragukan dengan madrasah.

Tinggalkan-komentar